Senin, 31 Januari 2011

Sungguh kamu belum shalat

 Dari Abu Hurairah RA bahwa ada seseorang yang masuk masjid, sementara itu Rasulullah SAW sedang duduk disalah satu bagian masjid. Kemudian orang itu melakukan shalat, lalu ia mendatanghi Rasulullah SAW dan mengucapkan salah kepada beliau. Kemudian Rasulullah berkata :
“wa’alaikassalamu, kembalilah kamu dan shalatlah lagi, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat”
Maka orang tersebut kembali melakukan shalat. Lalu ia mendatangi Rasullah SAW dan mangucapkan salam kepada beliau. Dan Rasulullah SAW kembali berkata padanya ;
“wa’alaikassalamu, kembalilah kamu dan shalatlah lagi, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat”
Maka orang tersebut mengulangi shalatnya. Lalu ia kembali mendatangi Rasulullah SAW dan mengucapkan salam pada beliau. Dan Rasulullah SAW berkata untuk kesekian kalinya :
“wa’alaikassalamu, kembalilah kamu dan shalatlah lagi, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat.
 Kemudian orang tersebut berkata, “ajarkanlah saya tentang shalat wahai rasulullah”. Maka Rasulullah SAW bersabda,
jika kamu shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan ucapkanlah takbir (allahuakbar), kamudian bacalah sedikit ayat (yang mudah olehmu)dari Al-Qur’an,
 kemudian rukuklah hingga engkau benar-benar merasa tenang dalam rukuk. Kemudian bangunlah dari rukuk hingga enkau benar-benar tegak berdiri. Lalu sujudlaah hingga benar-benar tenang dalam sujud. Selanjutnya bangunlah dari sujud hingga engkau bemar-benar duduk dalam tenang. Dan lakukanlah hal seperti itu dalam semua shalatmu”.
(Dikutip dari buku Agar Shalat Terasa Nikmat)

Rabu, 12 Januari 2011

Kekuatan tanpa kekerasan

R
Dr. Arun Ghandi adalah cucu Mahatma Ghandi dan pendiri Lembaga M.K Ghandi untuk tanpa kekerasan. Pada tanggal 9 juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.
Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama dengan orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gemnira dengan kesempatan itu. Tahu bbahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pgi itu, setiba di tempat konferensi ayah berkata, “ayah tunggu kau dsini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang kerumah bersama-sama.” Segera saja saya menyelesikan pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 05.30, langsng saya berlari menuju bengkel mobi;  dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah pukul 06.00. dengan gelisah ayah menanyai saya. “kenapa kau terlambat?”
Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, “Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah menelepon bengkel mobil itu. Dan kini ayah tahu kalau saya berbohong.
Lalu ayah berkata, “Ada yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kkebenaran kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang kerumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”
Lalu ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang kerumah. Padahal hari sudah gelap. Sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan d belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.

Sejak saat itu saja saya tidak pernah akan berbohong lagi. Serngkali saya berfikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelejaran mengenai tanpa kekerasan? Saya kira tidak...!!
Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadaian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah KEKUATAN TANPA KEKERASAN.”

Belajar Ikhlas

AKU INGIN BELAJAR IKHLAS
Bismillahirrahmanirrahim…..
Ada satu nasehat dari ibnu Athaillah dalam kitab al-hikamnya yang sampai saat ini masih terngiang dalam ingatanku, dan aku sangat ingin mempelajari makna yang terkandung didalamnya.
“Berbagai perbuatan manusia tak ubahnya sebuah patung yang kelihatan tegak, namun tak bisa bergerak. Keikhlasanlah yang membuatnya bernyawa”
Yup,, “ikhlas”, pastinya kata yang sangat sering ku dengar bahkan aku sangat sering mengucapkannya. Namun apa sih makna ikhlas?
Telah ku coba mencarinya, dan aku mendapatkan sedikit jawabannya dalam sebuah novel yang berjudul “Aku Menggugat Akhwat dan Ikhwan” karangan Fajar Agustanto. Hmm..akuu cukup mengerti dengan penjelasannya…
Dalam jilid ke 7 dalam novel “Aku Menggugat Akhwat dan Ikhwan” ….
…………….. Sejenak aku merebahkan diri. Mengentaskan semua asa yang tertanam dalam diri. Tubuhku terasa nyaman, berada dalam naungan kasur busa. Sesekali aku menghela nafas panjang. Menerawang dalam tatapan yang penuh dengan keletihan. Letih menjalani hari yang panjang. Hari yang melelahkan dalam satu hari penuh dengan perjuangan. Beberapa persoalan, datang silih berganti dalam hidup. Gejolak jiwa dalam aral yang membelenggu. Mengganggu tanpa permisi terlebih dahulu. Semuanya datang. Semuanya terasa keras dalam balutan masalah yang tak akan tuntas. Tetapi aku yakin. Tidak ada masalah yang tidak bisa dituntaskan. Karena Allah, telah memberikan cobaan dengan beserta kemudahannya. Aku yakin, semuanya bisa terselesaikan. Selesai tanpa harus membekas dalam diri dengan setumpuk masalah yang sama bertubi-tubi.

“Tluut…Tliit….” Suara sms Hp mengagetkanku.
Febrianti. Tertulis dalam layar LCD. “Mbak, anti dmn? Nggak ngechat! Tmn2 lg nungguin. Pngen tausyiah dari Mbak Farah. Cepat ya Mbak!” Pesan SMSnya.

Masya Allah, aku lupa. Hari ini kan ada liqo’ di teman-teman chatting!

Segera mungkin aku langsung menghidupkan komputer. Tak perlu beranjak dari tempat tidur. Karena dengan hanya menekan remote. Maka komputer dengan sendirinya langsung merestart. Segera aku mengambil jilbabku, untuk aku kenakan. Sejenak windows xp mengeluarkan wajah cantikku. “Afwan, sudahkah anda membaca basmalah? Kalau sudah, tolong diisi password untuk menuju tampilan XPnya. Syukron. Wassalam!” Bunyi tampilan otomatis dalam komputer.
Segera mungkin aku connect keinternet. Memasang camera dengan bagus. Dan langsung menuju ke chatcam. Tak lama aku sudah menuju keteman-teman cyber liqo’. Unik sebenarnya, saat kami bertemu dalam dunia cyber. Beberapa akhwat adalah adik kelasku, teman-temannya Dewi. Dan yang lainnya, adalah teman-teman cyber chatku. Karena kebanyakan mereka kuliah diluar negeri. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk selalu berhubungan dengan cara seperti ini. Beberapa teman-teman chattingku. Malahan dulu adalah seorang non muslim. Yang begitu tertarik dengan Islam. Hanya saja, mereka tidak dapat belajar tentang Islam lebih dalam. Karena mereka di wilayah negeri orang-orang kafir. Sehingga alternatifnya adalah, dengan chatting. Ada dua versi chatting yang dikembangkan dalam liqo’anku. Yaitu, chatcam dan chatvoice. Dua-duanya langsung terhubung dalam satu channel chatting. Sehingga dengan mudah, jika seorang yang tidak mempunyai camera. Tetap bisa mendengarkan suara para chatter.

“Assalamualaikum!” beruntun, suara-suara para chatter. Terlihat Febri, tetap dengan wajah imutnya dan jilbab besarnya. Lalu ada Ine dengan jilbab trendynya. Ada Ratna, Asih, Fenti, Maya, Desti, dan banyak lagi. Juga beberapa teman-teman chatvoice yang hanya menunjukkan inisial atau nama-namanya saja.
“Walaikumsalam.”
“Mbak Farah, kok telat ada apa?” Tanya Desti.

“Ana lagi kecapean! Satu hari yang melelahkan plus menegangkan serta menguras pikiran!”  ucapku senyum.

“Emang, lagi ada kegiatan yah Mbak?” Tanya Febri.

“Iyah, bisa dibilang begitu!” Ucapku. Kegiatan yang telah membuat jantung begitu keras dalam detakannya. Gumamku.
“Enak yah, Mbak! Kalau di Indonesia. Masih bisa melakukan dakwah sesukanya!” Ucap Febri dengan senyum simpulnya.

“Iya! Kalau kita disini nggak bisa seenaknya, melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau religius ditempat umum! Bisa-bisa ditangkap karena mengganggu masyarakat!” Sahut Ratna. “Apalagi disini! Bisa-bisa langsung dikira teroris.” Sela Asih, sengit.

“Memang, banyak negera-negara yang katanya menjunjung hak asasi. Tetapi seorang yang melakukan hak asasinya malah dilarang. Banyak para akhwat Perancis yang telah keluar dari universitas terkenal. Hanya karena mereka berjilbab! Padahal, untuk masuknya sangat sulit.” Ucap Fenti.

“Woi, kasih hak bicara dong! Jangan hanya yang punya webcam aja, yang bicara!” sela Anggi yang berada di chatvoice. “Ih, siapa yang memotong hak bicara! Anti saja, yang tidak mau bicara.” Seru Ine. Yang membuat teman-teman akhirnya tertawa.

“Iya, kalau disini juga susah untuk kegiatan yang berbau religius! Di Ausy, malah ada salah satu akhwat yang diludahin saat mau berangkat kuliah.” Ucap Anggi semangat. “Siapa yang nanya!” sela Ine. “Yee….” Ucap Anggi, bersungut.

“Hehehe…. Sudah-sudah! Anti berdua ini kok kaya’ apaan.” Selaku. Mendamaikan.

“Biasa, Mbak! Anggi dan Ine itukan kucing dan tikus. Ngeong…… Citcit…..!” ledek Asih.

“Iya, ana kucingnya. Ukhti Ine tikusnya! Hehe…” ucap Anggi.

“Yee.. ana yang kucingnya. Anti tikusnya!” Seru Ine.

“Hehe… kok rebutan jadi binatang sih! Emang nggak enak yah jadi manusia?” ucapku bercanda.

“Iya, nih. Ukhti Asih ituloh yang mulai, Mbak!” Jawab Anggi.

“Iya, ini gara-gara Ukhti Asih!” Sahut Ine.

“Loh-loh… kok malah ana sih yang disalahin!” ucap Asih. Tidak terima.

Seluruh chatter pun tertawa. Sungguh keterikatan ukhuwah yang telah menjadikan kami bisa begitu dekat. Entah darimana asal mereka. Apa warna kulit mereka, bahasa apa yang mereka pakai. Selama dalam naungan Islam. Mereka adalah saudara. Hingga sampai-sampai, para room dichatting. Merasakan kenikmatan persaudaraan itu. Perkara kecil bisa dibesar-besarkan, tetapi tidak menjadi besar. Perkara besar tidak dibesar-besarkan malah kalau bisa dipermudah dan diperkecil. Karena ikatan ukhuwah kita yang kuat. Sampai-sampai bagaikan seorang adik kakak. Pertikaian kecil, merupakan bumbu-bumbu yang akan mempererat persaudaraan.

“Hehe…. Ya sudah! Gimana kita mulai sekarang?” selaku.

Sejenak mereka pun sedikit demi sedikit bisa mengatur dirinya. Suara riuh canda tawa mulai sedikit demi sedikit mereda. Mereka memulai memfokuskan dalam bermuhasabah pada setiap dirinya. “Tafadhol, Mbak!” Ucap Febri, mempersilahkan aku memberikan materi.

“Alhamdulillah. Insya Allah, untuk hari ini kita membahas materi akhlak dan ikhlas!” sejenak aku mengela nafas.
“Akhlak. Bisa dikatakan sebagai adab. Atau perilaku tentang budi pekerti. Dalam kamus bahasa. Beberapa orang mengatakan, bahwa akhlak adalah sebuah perilaku budi pekerti yang diambil dari sebuah kebudayaan. Tetapi, Akhlak dalam Islam. Bukan dari kebudayaan orang Arab. Tetapi, lebih dicenderungkan dalam kebudayaan manusia. Budi pekerti manusia yang universal. Dan akhlak dalam Islam, adalah karakter dominan Rasulullah! Yaitu, seorang yang ramah, adil, baik. Intinya, kesempurnaan manusia yang ada dunia. Hanyalah pada Rasulullah!”

Dalam layar monitor. Teman-temanku mendengar secara pasti taujih yang aku sampaikan. Rasa ketidaktahuan, atau rasa ingin memperkuat keimanan. Terlihat dari setiap wajah-wajah dalam monitor. Tidak terkecuali, teman-teman yang hanya bisa mendengar melalui chatvoice. Setiap hal, yang mendetail masalah akhlak dan ikhlas. Aku sampaikan dengan jelas. Aku ingin tidak ada yang tersisa lagi dalam setiap penyampaian materiku. Hingga menimbulkan rasa penasaran yang tinggi. Atau ilmu yang hanya setengah-setengah saja. Dengan pasti, aku memberikan materi-materi itu.

“Alhamdulillah. Baik, ada yang perlu ditanyakan” ucapku diakhir penjelasan.

Sejenak para chatter diam. Berfikir dan merasapi taujih yang aku sampaikan. Wajah mereka tertunduk, mengharap keikhlasan dengan perbuatan yang mereka lakukan. Perbuatan yang entah mereka lakukan. Aku tidak tahu.

“Mbak, ana mau tanya!” ucap Desti. Membuyarkan lamunan para chatter.

“Iya, tafadhol Ukh!” jawabku.

“Mbak, ana mau tanya tentang keIkhlasan. Apakah seorang yang melakukan sebuah pekerjaan. Tetapi dia melakukan itu dengan senang hati, tetapi karena menginginkan sesuatu selain Allah! Apakah itu juga dinamakan Ikhlas?”

“Seorang yang melakukan perbuatan, tetapi didasari untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bukan berdasarkan pada Allah. Juga termasuk Ikhlas! Tetapi, keikhlasan itu hanya pada sesuatu yang diinginkannya saja. Dan dia tidak mendapatkan pahala ikhlas yang diberikan oleh Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, diriwayatkan oleh Ahmad. “Sebaik-baik usaha adalah usaha tangan seorang pekerja apabila ia mengerjakannya dengan tulus.” Jadi semua itu, mempunyai nilai keikhlasan sendiri-sendiri. Jika seseorang meniatkan dirinya untuk Allah, maka Allah lah yang akan menjadi tujuannya. Dan pahala yang akan didapatkannya. Sedangkan, jika seorang meniatkan untuk hal-hal yang lain. Selain Allah. Maka, hanya hal itu saja yang akan didapatkannya!” jelasku.

“Lalu, cara untuk ikhlas atau menjaga ikhlas dalam dakwah bagaimana Mbak? Kadang, ana sangat ikhlas sekali untuk mengadakan kegiatan. Tetapi, saat kegiatan itu tidak sesuai dengan harapan. Keihlasan ana menjadi pupus!” tanya Maya.

“Iya, kadang kita benar-benar sangat bersemangat dalam beradakwah. Dan kadang kala kita menjadi luntur atau futur. Saat-saat apa yang kita harapkan tidak tercapai. Atau kita bosan dengan kegiatan tersebut! Mungkin, kita perlu merefiu kembali jalan dakwah yang kita lakukan. Saat kita melakukan sebuah kegiatan. Dengan harapan, bahwa kegiatan itu akan mencapai target yang ingin kita capai. Tetapi sayang, beberapa teman-teman kita banyak yang tidak datang dalam kegiatan tersebut. Biasanya membuat kita menjadi pesimis dengan berlangsungnya kegiatan dengan bagus! Atau panitia kegiatan banyak yang datang terlambat. Itu juga, salah satu yang membuat keikhlasan menjadi luntur! Pernah ada seorang akhwat, melakukan kegiatan yang sudah sangat dirancang dengan matang. Lalu, pada saat pelaksanaan kegiatan. Banyak akhwat-akhwat panitia yang terlambat hadir atau bahkan tidak hadir. Akhwat ini bingung. Peserta sudah sangat membludak. Tetapi, panitia banyak yang tidak hadir. Akhirnya akhwat ini menelephon seorang akhwat yang belum hadir. Sebuah percakapan terjadi,

Akhwat A   : Ukhti, anti dimana? Peserta sudah banyak. Anti tolong kemari dong!
Akhwat B   : Afwan ana tidak bisa hadir. Ana ada keperluaan! Semoga anti dan teman-teman bisa mengatasi sendiri. (Ucapnya dengan enteng, tidak ada penyesalan sama sekali)
Akhwat A   : Anti kok nggak bilang saat syuro’. Kalau seperti ini kan kasihan Al Ukh yang lain. (Ucapnya, sedikit agak emosi)
Akhwat B   : Iya, Afwan. Ana hari ini ada teman yang lagi main kerumah. Jadi nggak bisa ninggal! Semoga anti tetap niat ikhlas anti tidak ternodai dengan nafsu amarah anti. (Ucapnya, tanpa ada perasaan yang bersalah)
Akhwat A   : Masya Allah, Ukh! Anti kan bisa ajak teman anti disini! (Ucapnya agak tegas, dengan nada yang meninggi. Sedikit terlihat emosi)
Akhwat B   : Afwan, nggak enak. Nanti ganggu anti dan temanteman. Lebih baik, anti dan teman-teman tetap istiqomah dijalan dakwah. Dan tetap, semoga niat anti nggak ternodai dengan nafsu amarah anti. (Ucapnya, tanpa ada perasaan yang bersalah. Seperti ingin menasehati)
Akhwat A   : TAHU APA ANTI TENTANG ISTIQOMAH DAN IKHLAS??. (Ucapnya dengan keras. Setelah itu menutup telephon)

Baik. Sekarang siapa yang salah” ucapku. Sambil melihat satu persatu Al Ukh, Halaqoh Cyber Liqo’.

Mereka terlihat bingung. Sesekali ada yang mengatakan salah satu yang salah. Tetapi ada juga, yang menyalahkan kedua akhwat itu. Dengan alasan, akhwat satu yang menelphon tidak mempunyai kesabaran untuk menghadapi Akhwat yang ditelephon. Lalu akhwat yang ditelephon, tidak mempunyai rasa persaudaraan yang kuat kepada akhwat yang lainnya. Tetapi, lebih banyak yang diam. Tidak berkomentar, atau menungguku untuk lebih dalam menjelaskan persoalan ini.

“Iya! Dalam kasus tadi. Kita dapat mengambil sebuah ibroh atau hikmahnya. Memang, niat ikhlas itu sangat diharapkan untuk tidak keluar dari dalam niat kita. Tetapi, ada penyebab yang membuat niat ikhlas itu keluar. Yaitu, dengan cobaan seperti apa yang terjadi dalam kasus tadi! Seorang, yang sudah ikhlas dalam hatinya. Akhirnya ternodai oleh saudaranya sendiri! Ikhlas, bukan berarti tidak butuh bantuan. Ikhlas, bukan berarti bertindak sendirian. Dan seharusnya, untuk menjaga keikhlasan sesama saudara. Maka saudara yang lainnya, pun harus ikut menjaga niat keikhlasan dalam perjuangan saudaranya. Bukan malah, membiarkan saudaranya berjuang sendiri. Lalu dengan seenaknya, saudara yang lainnya mengatakan tentang keikhlasan. Keikhlasan tentang saudara yang lainnya. Ini berarti, menjadikan tumbal saudara kita sendiri!”
Aku sedikit menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. “Maka, untuk menjaga niat ikhlas kita. Seharusnya, sikap kita adalah tidak mementingkan hasil dari apa yang kita kerjakan. Cukuplah usaha yang kita jalankan, sesuai dengan apa yang memang seharusnya. Tidak usah begitu mengharapkan hasil yang sempurna. Tetapi, tetap ada hasilnya! Dan cukuplah Allah, yang memberikan hasil dari kita. Cukuplah kita, berikhtiar dengan usaha yang kita lakukan.”

“Iya, ana juga setuju kalau seperti itu Mbak!” Ucap Desti.

“Ana jadi lebih mengerti sekarang!” Sahut Anggi.

“Sama, ana juga!” Ucap Febri.

“Syukron Mbak! Ana jadi lebih tenang, dengan penjelasan yang Mbak Farah sampaikan!” Ucap Ine.

“Sama, ana juga!” Ucap beberapa teman-teman yang lain.

“Alhamdulillah. Kalau seperti ini kan, ana jadi agak lebih mudah menjelaskannya!” ucapku. Sambil bercanda.
…………………………………………………………………………………………………………………..

Seketika aku teringat dengan hadist pertama dalam kumpulan hadits arbain Imam Nawawi,

Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Hm…. Niat dan keikhlasanku udah terjaga atau belum ya?
Trus dalam menjalankan perjuanganku selama ini, apakah aku sudah ikhlas? Atau terpaksa ya?? Waduh.. bahaya..
Nah.. satu lagi, apakah aku sudah menjaga niat keikhlasan dalam perjuangan saudaraku atau malah, membiarkan saudaraku berjuang sendiri???
Tanda Tanya besar untukku….hmmmm
Semoga saja aku dan saudara-saudaraku saling menjaga, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan, bukan malahsaling menyalahkan.
BECAUSE WE ARE MOSLEM BROTHERHOOD (bener gk ya tulisannya).
^%************************************%^